Blog featuring asian fanfiction and etc.

Monday 24 December 2012

Rain (Sequel of Mianhae And Saranghae)

Author : Haepi Hun
Title : Rain
Cast : - Kim Yeongwoon/Kangin (Super Junior)
          - Lee Jangseok (Author's chingu/Readers)
Other Cast : - Kim Himchan (B.A.P)
                    - Yoon Bora (Sistar)
                    - Kim Jeongwoon/Yesung (Super Junior)
                    - Kang Jihyun/Soyou (Sistar)
Rating : PG-13
Genre : Angst, Romance
Category : Oneshoot
__________________________________________________


Ok, maaf banget yang minta sequel Mianhae and Saranghae baru bisa keluar sekarang. Mohon maklum, sekolah author sangat ketat peraturannya, jadi jarang posting juga karena banyak yang request ff sama author jadi sequel ini tertimbun. Oke deh, happy reading ^^
________________________________________________________________________


_________________________________________________________________________________

     Jika boleh memilih antara ibu atau istri, kau akan memilih yang mana? Jika kau bingung, itulah hal yang kini sedang kurasakan. Terlebih aku adalah satu-satunya anak dari pasangan Kim Woobin dan Shim Hanbyul yang akan meneruskan generasi mereka nantinya. Jangseok, dia penting untukku, ibu? Tentu beliau sangat penting. Jadi sekarang aku harus memilih siapa?

~***~

     "Oppa, ireona! Ppali! Aku sudah menyiapkan jas kerja mu! Ppali ireona!" suara lembut istriku membangunkanku dari buruknya mimpiku. Ah, terima kasih Jangseok-ah karena telah membawaku pergi dari mimpi itu.
     "Jam berapa sekarang?" tanyaku dengan mata yang masih setengah terpejam dan suara yang parau.
     "Sekarang sudah jam enam pagi. Ppali! Akan kubuatkan sarapan untukmu" Jangseok hampir saja beranjak dari kasurku kalau saja aku tidak sigap menahan lengannya.
     "Wae?" aku langsung memejamkan mata dan memajukan bibirku, menjawab pertanyaannya.
     "Aisshhh!! Kau ini! Kau tidak akan mendapatkan morning kiss pagi ini sebelum kau rapi dengan perlengkapan kerja mu!" ucapnya tegas sambil memukul pelan wajahku dan ia pun segera berlalu dari kamar kami. 
     Aku tetap memajukan bibirku, tapi kali ini bukan meminta morning kiss melainkan karena rasa dongkol yang kini kurasakan.

     Setelah di rasa siap, aku pun segera menuju ruang makan. Untuk apa lagi kalau bukan sarapan sekaligus memandang wajah bidadari istriku? Demi apapun, aku sungguh menggemari wajahnya di pagi hari. Tapi bukan berarti wajahnya buruk selain di pagi hari.

      "Oppa, kau belum memakai dasi?" tanyanya penuh perhatian sambil menyodorkanku secangkir kopi dan sandwich. Aku menggeleng pelan.
     "Kenapa belum kau pakai? Nanti kau terlambat, oppa! Bahkan kau juga belum memakai kaus kaki mu!"
     "Pakaikan" pintaku setengah merajuk. "Ya! Kangin oppa!!" bentaknya dengan mata kecilnya yang berusaha ia buat sebesar mungkin. Aku hanya tertawa. Jika sudah begini bisa di pastikan bahwa nanti malam aku tidak akan di perbolehkannya untuk memeluk dirinya ketika tidur. 
     Untuk menghindari hal itu aku pun segera kembali ke kamar untuk memakai dasi serta kaus kaki.

     Setelah sarapan -dan memakai dasi serta kaus kaki tentunya- aku segera mengambil kunci mobilku dan bersiap untuk berangkat kerja.
     "Oppa berangkat"
     "Ne! Hati-hati oppa!" ujarnya sambil melambaikan tangan padaku.
     "Oh iya, yeobo. Nanti malam sepertinya oppa akan lembur. Jadi nanti kau kunci saja semua pintu dan jendelanya"
     "Ah, oppa lembur lagi?" tanyanya setengah berujar sambil menggembungkan pipinya yang chubby itu. Membuatku gemas ingin memakannya. "Baiklah. Yasudah sana cepat pergi! Nanti kau terlambat!"
     "Ne. Dasar cerewet!" tak dapat menahan rasa gemasku, aku pun menyalurkannya dengan menyubit pipinya.

     Setelah aku jauh dari rumah, secara otomatis senyumku pun memudar. Tiba-tiba saja hal itu kembali muncul di otakku. Eottohke? Bagaimana aku bisa melupakan semuanya sebentar saja? Bagaimana aku bisa mengatasi hal ini? Eomma, beliau benar-benar menginginkan seorang bayi dariku.
Mianhaeyo eomma.

     "Hei! Wahh kau ini! Pagi-pagi sudah kusut saja wajah mu" aku hanya meliriknya sekilas yang kini sudah duduk di atas meja kerjaku.
     "Ya! Kim Himchan! Kau ini tidak sopan sekali! Bagaimana pun juga aku ini atasan mu! Cepat turun dari atas mejaku!" seketika wajahnya yang tadi ceria pun menguap begitu saja ketika aku membentaknya.
     "Ne, aku turun. Kau ini kenapa? Biasanya aku duduk di meja mu kau juga tidak keberatan" tanyanya setengah menggerutu yang kini berpindah menduduki kursi di depanku. Aku masih dengan wajah lesuku dan sibuk melihat-lihat berkas-berkas kantor.
     "Apa ada masalah lagi?" tanyanya hati-hati yang kini wajahnya sudah mendekat padaku. Aku meliriknya sambil menautkan kedua alisku "Haish, molla Himchan-ah. Bebanku terlalu banyak!" seruku frustasi sambil mengacak-acak rambutku yang tadinya tertata rapih.
     "Oh, ayolah teman! Kau pasti bisa menyelesaikannya!" ucapnya memberiku semangat sambil menepuk bahuku ringan.
     "Bagaimana aku bisa menyelsaikannya? Dengan menuruti kemauan appaku? Apakah kau pikir aku setega itu?"
     "Aku tidak bilang begitu!" sejenak kami berdua terdiam dalam heningnya ruang kerjaku. Himchan tampak berpikir, mungkin.
     "Bagaimana jika kau mengadopsi anak? Aku memiliki beberapa kenalan orang yang memiliki yayasan panti asuhan" cetusnya tiba-tiba yang membuatku mendengus pelan
     "Himchan-ah! Aku kan sudah pernah bilang padamu! Eomma menginginkan cucu dari darah dagingku sendiri!"
     "Tapi bagaimana bisa? Istri mu itu...." Himchan menggantungkan ucapannya seakan sadar kalimat apa yang akan ia keluarkan dari mulutnya.
     "Eum.. Maaf"
     "Gwaencanha. Arasseo! Keadaannya memang begini. Aku dan Jangseok sudah berusaha sebisa mungkin"
     "Tuhan pasti mendengar doa dan melihat usaha kalian! Percayalah! Tuhan akan memberikan apa yang kalian inginkan" Ujarnya bijak sambil tersenyum ke arahku. Memberiku semangat supaya aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

     Hari sudah mulai siang. Perutku sudah memeberontak. Ah, aku harus segera mencari tempat makan sebelum perutku ini berbunyi tambah kencang.
     "Ya! Daepyunim!" teriak seseorang. Aku memutar pandanganku demi melihat siapa yang telah memanggilku dengan nama jabatanku tersebut.
     "Eo? Bora-ya? Wae?" aku tersenyum begitu mengetahui yang memanggilku dengan sebutan presdir itu ternyata Bora. Salah satu karyawanku sekaligus sahabatku dan Himchan.
"Kau mau makan siang denganku dan Himchan?" tanyanya sambil menghampiriku yang terlihat kesulitan berjalan dengan heelsnya. Hey! Tunggu! Seorang Bora memakai heels? Aku tidak salah melihat? Ini sebuah keajaiban!
     "Ya! Kau memakai sepatu seperti ini?" tanyaku atau lebih tepatnya mengejek sambil tertawa lebar menatap sepatu heels merk KVOLL yang cukup populer di kalangan yeojadeul Korea ini.
     "Mwo? Tidak usah menertawaiku!" bentaknya sambil melirikku sinis "Ini semua gara-gara Yesung!" lanjutnya sambil bersungut-sungut. Mungkin jika wajahnya saat ini di gambar dalam bentuk manga Jepang aku yakin akan ada garis-garis spiral dan juga asap panas di atas kepalanya.
     "Jinjja? Bagaimana bisa tunangan mu itu membuat seorang Bora yang di ragukan keperempuanannya ini dapat mengenakan high heels?" tanyaku lagi sambil terkikik geli. Dirinya saat ini benar-benar tak cocok memakai heels yang sangat tinggi itu. Mungkin karena aku terbiasa melihatnya yang selalu memakai flat shoes ke kantor.
     "Ck.., dia mengancam jika aku tidak mau memakai high heels maka pernikahan kami akan dia batalkan!" jawabnya masih dengan bersungut. Aku tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasannya. Ternyata Yesung dapat membuat tunangannya ini bertekuk lutut. 
     Aku tahu sekali bahwa Yesung adalah pria yang menyukai tipe wanita yang berkelakuan selayaknya wanita namun juga tidak berlebihan. Tetapi ia paling menyukai yeoja yang memakai sepatu tinggi. Mungkin itu sebabnya dia berani mengancam tunangannya ini dengan ancaman ekstrim seperti itu.
     "Ya! Jangan tertawa terus! Sekarang kau mau ikut aku dan Himchan makan siang atau tidak? Aku tidak punya waktu untuk mendengar mu tertawa!" ucapnya dengan sedikit membentak lalu berjalan -sok- cepat dengan high heelsnya itu yang kuyakini tujuannya mengarah ke basement, menemui Himchan yang sudah menunggu di mobilnya. Aku pun segera mengekorinya sambil terus berusaha menahan rasa geliku.

     Berbicara tentang heels, aku jadi teringat sosok Jangseok jaman dulu. Ketika kami sama-sama masih duduk di bangku SMP. Ya, sebenarnya aku sudah mengaguminya sejak SMP.
     Saat dimana appa pertama kali mempertemukanku dengannya. Tapi pertemuan pertama kami tidak seindah pemikiran orang lain. Justru dulu Jangseok dan aku bermusuhan hanya karena masalah sepele. Sepatu. Jangseok dulu bergaya tomboy. Ketika acara makan malam keluarga, ibunya memaksa agar putri semata wayangnya ini mau memakai high heels. Dan di situlah ide jahilku muncul. 
     Aku dengan sengaja menjulurkan kakiku ketika dia lewat. Alhasil ia tersandung dan terjatuh karena tidak terbiasa memakai high heels. Sejak saat itu ia bersumpah tidak akan pernah mau berteman denganku. Tetapi seiring berjalannya waktu, lama-lama Jangseok melupakan kejadian masa remaja itu dan memutuskan untuk berteman denganku, bahkan sekarang lebih dari itu. 
     Meskipun kami juga pernah mengalami hal yang sama seperti saat SMP itu ketika kami duduk di bangku kuliah. Tentunya dengan masalah yang lebih berat dari ketika kami SMP dulu. Ya, permasalahan orang dewasa. Namun takdir baik Tuhan memang berpihak padaku. Tapi sekarang akankah hidup kami berakhir bahagia?

     Setelah lama menunggu di perjalanan, kami pun sampai di sebuah restoran milik paman Himchan. Restoran Jepang. Himchan memang sahabatku yang terbaik. Dia sungguh tahu seleraku, dia selalu memberiku solusi ketika ada masalah, tak jarang juga dia tiba-tiba datang di kala aku sedang mendapat musibah. Dari yang terkecil hingga terbesar.

     Kami mulai memasuki restoran bernuansa Jepang ini. Terdapat tanaman bunga sakura plastik berwarna merah muda di kanan dan kiri pintu masuk. Restoran ini di dominasi warna cokelat dan hitam. Restoran berbentuk segi enam ini juga menjadi tampak elegan dengan dindingnya yang hampir seluruhnya terbuat dari kaca. Hanya bagian belakang dan samping kiri saja yang dindingnya terbuat dari tembok.

     "Hyung! Kau mau pesan apa?" tawar Himchan.
     "Seperti biasa! Dua porsi sashimi dan segelas ocha panas" balasku cepat. Seketika pandanganku terpatri pada seorang namja dan seorang yeoja yang juga sedang menyantap hidangan restoran ini. 
     Mereka terlihat bahagia dengan dua orang anak namja mereka yang kuperkirakan usia kedua anak itu sekitar 3-5 tahun. Tak sadar aku mengamati keluarga bahagia itu hingga tiba-tiba sebuah tangan mengagetkanku "Ya! Sunbae! Kau melihat apa?" Bora! Anak ini selalu saja mengejutkanku.
     "Ah? Aku? Ani. Aku tidak melihat apa-apa" elakku sambil menundukkan kepala. Ekor mataku masih bisa menangkap arah kepala Bora dan juga Himchan yang ikut melihat ke arah yang sedari tadi menyita perhatianku. 
     Seakan mengerti apa yang menjadi objek pandanganku, Bora dan Himchan saling bertatapan. Tatapan yang menyiratkan keprihatinan. Selang beberapa detik kemudian tangan Bora sudah menyentuh bahuku pelan "Sunbae! Kami mengerti apa yang kau rasakan! Tapi kau tidak bisa terus-terusan seperti ini! Kau harus berjuang! Kau pasti bisa, sunbae!" ujar yeoja berambut panjang sebahu ini.
     "Bora benar! Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini!" tambah Himchan dengan wajah sok seriusnya. Sebenarnya bukan perlakuannya padaku saja yang dapat membantu mengurangi beban masalahku, tapi wajahnya juga.
     Bayangkan saja! Seorang yang selalu berkelakuan konyol setiap harinya seperti Himchan memasang tampang serius. Menurutku itu adalah sisi konyol Himchan yang tidak ia sadari. Wajahnya pun saat sedang tidak berulah menurutku sudah konyol, apa lagi jika ia berulah?  Bahkan kini aku tengah menahan tawaku. Tidak etis kan jika tiba-tiba aku tergelak di tengah-tengah mereka berdua yang sedang memrihatinkan keadaanku sekarang?
     "Ne. Gomawoyo chingudeul! Kalian benar-benar sahabat yang baik!" balasku sekenanya sambil tersenyum getir.


***

     "Nawasseo" ucapku pelan sesampainya di rumah. Kulirik jam yang terpasang di pergelangan tangan kiriku. Pukul sebelas malam. Aku lupa. Jangseok pasti sudah tidur.
     Segera aku memasuki kamar dan melepas kemeja beserta dasiku asal. Aku sudah terlalu lelah. Kebiasaanku setiap sebelum tidur yaitu mengecharge ponselku. Jadi selelah apa pun, aku selalu menyempatkan diri untuk menancapkan charger pada stopkontak.
     Ketika aku menancapkan kabel pada ponselku, secara otomatis ponselku menyala. Aku melihat ada tiga missed call dan sebuah pesan. Ternyata keduanya dari appa. Segera kubuka pesan tersebut.

From : Appa
To : Yeongwoon

Yeongwoon-ah, bisakah besok kau berkunjung ke rumah appa? Tapi jangan kau ajak Jangseok. Appa ingin bicara berdua saja dengan mu.

     Karena terlalu lelah, tak kuhiraukan pesan appa dan hanya dalam beberapa detik saja aku sudah berada di alam mimpi dengan merengkuh Jangseok.


~***~

     "Tadi malam pulang pukul berapa?" tanya Jangseok yang sedang menggoreng telur membelakangiku.
     "Eum? Pukul duabelas malam" jawabku sambil menyeruput secangkir kopi susu. Jangseok mematikan kompor lalu meletakkan telur yang di gorengnya ke atas piring dan berjalan menuju meja makan. Menempatkan dirinya di bangku depanku dan berkata lagi "Kau tidak pergi ke tempat laknat itu bukan?" aku mendesah pelan. Aku tahu. Tempat laknat yang ia maksud tidak lain adalah club.
     "Tentu saja tidak. Apakah kau masih tidak percaya padaku? Ah, aku sungguh kecewa pada mu, yeobo" ujarku dengan memasang wajah pura-pura sedih. Kudengar ia terkekeh lalu melahap roti isi telurnya.
     "Aku hanya memastikan kau tidak mengulangi kebiasaan mu dulu itu. Kau tahu? Aku sungguh tersiksa jika kau masih saja senang berkunjung ke sana dengan para yeoja seksi yang selalu menawari mu minuman" ucapnya jujur. Aku menyunggingkan sebelah sudut bibirku "Itu tidak akan terjadi lagi, yeobo. Aku kan sudah bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan minum-minuman lagi dan pergi ke tempat laknat yang kau bilang itu. Aku sudah berubah. Dan itu karena kau" kulihat ia tersenyum simpul. Manis sekali.
     "Oh iya. Nanti setelah pulang dari kantor aku akan berkunjung ke rumah appa" ujarku. Saat itu juga senyuman di wajah bidadarinya lenyap begitu mendengar kata-kataku. Aku menaikkan sebelah alisku "Kau tidak bertanya untuk apa aku ke sana?"
     "Aniya. Nampaknya aku tahu apa yang akan kau lakukan di sana dengan appa mu" jawabnya lirih.
     "Jinjja? Aku saja tidak tahu apa yang ingin appa bicarakan padaku" balasku berusaha meluruhkan suasana dengan berusaha tertawa, namun tampaknya usahaku tidak berguna. Kini wajah bidadarinya malah semakin muram. Seketika aku ikut melenyapkan tawaku lalu aku segera menggenggam tangannya kuat dan menatap matanya lamat-lamat. Memberikan kekuatan padanya "Aku yakin. Semuanya pasti akan ada jalan keluarnya"
     "Aku tidak tahu ini hanya perasaanku saja atau tidak. Tapi kurasa appa mu mulai tidak nyaman denganku"
     "Aku yakin itu hanya prasangka buruk mu saja. Kau ingat? Dulu appaku yang mempertemukan kita. Jadi mana mungkin ia merasa tidak nyaman dengan menantunya sendiri yang cantik ini?" jawabku berusaha menepis pikiran buruknya. Hatiku kembali lega melihat senyumnya kembali merekah di wajah bidadarinya.

~***~

     Baru saja aku berniat untuk menekan bel rumah appa namun segera kuurungkan niatku itu karena ternyata beliau sudah menungguku di teras depan rumahnya sambil mengajak Hero, anjingku, bermain frisbee. Permainan kesukaan anjing putih jenis American Eskimo itu sejak aku dan dia sama-sama masih kecil.

     "Ah, putraku! Akhirnya kau datang" appa langsung mengalihkan perhatiannya dari Hero begitu menyadari keberadaanku. Kami berpelukan hangat lalu sejurus kemudian appa melepaskannya karena gonggongan Hero yang memekakan telinga.
     "Tampaknya Hero merindukan mu" ujar appa. Aku tersenyum lalu mengelus kepala Hero cepat "Kau merindukanku?" Hero membiarkan lidahnya itu terjuntai. Kurasa tubuhnya bertambah gempal. Sudah besar tambah besar anjing ini.
     "Ayo masuk. Ibu mu sudah membuatkan puding coklat kesukaan mu dan bulgogi. Kaja" aku pun mengikuti derap langkah appa yang mulai memasuki ruang tamu dan berakhir di ruang makan.
     "Yeongwoon! Ah, ya Tuhan. Bagaimana bisa anakku ini sepuluh kali lipat lebih tampan dari terakhir kali aku bertemu?" aku hanya tersenyum sambil memeluk yeoja yang telah mengandungku selama sembilan bulan ini.
     "Eomma, jangan berlebihan. Bahkan terakhir kali kita bertemu adalah dua minggu yang lalu" sanggahku sambil melepas pelukannya.
     "Baiklah. Mungkin eomma memang berlebihan. Tapi mari kita dengar apa pendapat ayah mu? Dia bahkan belum bertemu dengan mu selama tiga bulan" ujar eomma sambil menyedekapkan kedua tangannya di depan dada. Kami pun melirik appa untuk menunggu jawaban.
     "Sangat tampan! Kurasa genku lebih mendominasi pada diri mu!" jawaban appa membuatku mendengus malas. Yah, mungkin sifat narsisku ini menurun dari appa. Kami pun tertawa ringan dengan eomma yang memersilakanku dan appa untuk duduk di meja makan.
     Hey! Tunggu! Kurasa tubuh eomma bertambah kurus. Kulihat kedua pipinya yang semakin cekung ke dalam. Ya Tuhan, padahal baru dua minggu yang lalu aku menemui eomma, tapi kenapa perubahannya sudah sedrastis ini? Ah, aku hanya bisa memohon pada Tuhan supaya menyembuhkan penyakit ibuku ini.

     Usai makan bersama, appa mengajakku untuk duduk di kursi teras bersama Hero. Sedangkan eomma menyuci piring-piring kotor di dapur di bantu oleh seorang pembantu rumah tangga yang berhasil kutemukan empat bulan lalu, khusus untuk membantu eomma. Atau lebih tepatnya merawat eomma ketika sedang tidak ada appa.

     "Yeongwoon-ah, appa langsung saja bicara. Ini mengenai..... Jangseok" ujar appa persis seperti yang ada di dalam pikiranku.
     "Woon-ah, jadi bagaimana? Apakah kalian sudah berhasil?" tanya appa yang kujawab dengan gelengan pelan.
     "Segala cara sudah kami coba. Mulai dari berobat alternatif, mengonsumsi obat herbal, sampai konsultasi pada orang pintar. Tapi appa jangan khawatir! Aku akan berjuang lebih keras lagi" jawabku was-was dengan menunjukkan wajah cemas yang tak bisa kusembunyikan.
     Appa mendesah pelan "Woon-ah, ini sudah lebih dari dua tahun! Ibu mu tidak bisa menunggu lebih lama lagi! Dokter bilang leukimia ibu mu selain di sembuhkan dengan obat juga akan lebih baik jika di bantu dengan suasana hatinya. Jika suasana hatinya baik, maka kondisi ibu mu juga akan membaik" jelas appa dengan menautkan kedua alisnya.
     "Arasseo appa. Geundae, sulit sekali membuat Jangseok dapat mengandung seorang bayi. Entah apa yang salah. Dokter bilang keadaanku sehat. Tapi Jangseok, entahlah. Dokter sendiri pun bingung bagaimana ia harus menjelaskan apa yang terjadi padanya" paparku. Aku yakin sekarang appa pasti semakin mantap dengan keputusan yang ia buat.
     "Woon-ah, kenapa kau tidak coba terima Soyou saja? Dia cantik dan juga pintar. Ayahnya adalah rekan bisnis appa. Sekarang bahkan ia tengah melanjutkan S3 di Australia" Bingo! Appa pasti akan membahas yeoja berambut keriting itu. Aku sampai lelah harus selalu menolak.
     "Appa! Tidakkah appa memikirkan perasaanku? Bagaimana jika appa yang berada di posisiku sekarang? Akankah appa tega meninggalkan istri appa yang appa cintai?" tanyaku sedikit menggebu. Rasanya sakit sekali mendengar orang tua mu sendiri menyuruh mu untuk berpisah dengan istri mu yang sangat kau cintai. Bahkan perjuanganku mendapatkan Jangseok harus sampai merasakan pahitnya di caci maki bertubi-tubi.
     "Sekarang coba kau bayangkan jika kau yang berada di posisi appa! Melihat istri mu yang mendambakan seorang cucu dari darah daging anaknya sendiri namun tak kunjung terwujud di tambah penyakit mematikan yang di deritanya. Apakah kau tega melihat istri mu sendiri pergi selamanya sebelum merasakan impiannya terwujud?" balas appa. Kini aku menundukkan kepalaku dalam. Kepalaku terasa semakin pening. Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku meninggalkan Jangseok? Tapi aku benar-benar tidak sanggup.
     "Appa hanya berharap pada mu! Kau harus bisa memilih keputusan yang tepat! Ingat! Waktu ibu mu tidak banyak!" Sekali lagi sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah, appa memeringatkanku kembali. Kenapa semuanya menjadi runyam seperti ini?

***

     "Oppa, kau tahu kan apa yang paling kusukai di dunia ini? Hujan. Aku sangat menyukai hujan. Aku tidak tahu kenapa tapi ketika hujan turun rasanya beban hidupku berkurang. Rasanya seperti ikut terbawa oleh tetesan dari awan. Aku merasa senang dan aku begitu merasa hidup ketika hujan. Mungkin jika hujan turun itu artinya aku sedang gembira. Hahaha" Itu kalimat yang selalu kuingat dalam memoriku. Jangseok, dia sangat menyukai hujan. Sejujurnya hal itu sangat bertolak belakang denganku yang tidak menyukai hujan. Yah, karena alasan yang logis. Jalanan menjadi becek terutama jalan masuk menuju kantorku, belum lagi suara petir di mana-mana.

     Kumasuki kamarku yang berhadapan dengan tangga menuju lantai dua. Hanya ada dua penghuni di sini, tapi ada dua lantai di rumah ini. Tentu saja. Untuk apa lagi kalau bukan kamar yang kami siapkan untuk anak kami kelak? Lihat? Kami bahkan sudah menyiapkan semuanya. Tapi kenapa kami tak kunjung bisa mendengar suara tangis bayi di rumah ini? Oh, memikirkannya hanya membuatku frustasi.
     Lagi-lagi ia sudah terbaring tenang di atas ranjang ketika aku pulang. Kuperhatikan wajahnya yang terlelap. Bulu matanya begitu lentik, hidungnya yang kecil, bibirnya yang tipis, serta matanya yang besar. Oh, mana mungkin aku sanggup meninggalkan manusia seperti ini?
     "Jaljjayo" Ujarku sepelan mungkin agar tak membangunkannya. Dalam beberapa detik saja bibirku sudah menempel di dahinya.

~***~

     "Bukankah dulu appa sendiri yang mengenalkanku dengan Jangseok? Lalu kenapa sekarang appa menginginkanku berpisah dengannya?" Tanyaku datar. Aroma kopi dari seubah cafe kopi di sebelah kantorku membantu meringankan pening di kepalaku.
     "Appa mempertemukan kalian berdua bukan dengan maksud untuk menjodohkan kalian. Tapi kau sendiri yang bersi keras ingin di jodohkan olehnya. Dulu bahkan Jangseok juga tidak ingin menikah dengan mu bukan?" Aku termenung mendengar balasan appa. Ya, itu semua benar. Jadi apakah itu artinya ini semua adalah salahku? Kurasa tidak. Jika aku tahu akan berakhir seperti ini sudah pasti jauh sebelumnya aku akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk Jangseok.
     "Yeongwoon, bulan depan ibu mu akan masuk rumah sakit lagi. Appa berharap kau segera memberikan keputusan mu!"
     "Bukankah berulang kali aku sudah memberi keputusan? Aku tidak mau. Jika seperti itu lalu untuk apa appa menyuruhku memberi keputusan jika appa saja sudah memaksaku?" Ujarku dingin sambil mengangkat gelas kopiku dan bersiap menyesap kopi di dalamnya.
     "Kau benar. Appa memang memaksa mu karena ini semua appa lakukan demi ibu mu!" Balas appa setelah mengembuskan nafas berat. Sejurus kemudian appa berkata lagi "Baiklah. Appa harus pergi. Masih banyak urusan yang harus appa selesaikan" Tanpa salam appa segera meninggalkan tempatnya dan berlalu dari hadapanku yang masih termangu menatap gelas kopiku.
     Kini aku benar-benar frustasi. Terkadang aku membayangkan kehidupanku jika tidak bersama Jangseok. Akankah aku bahagia? Kurasa tidak. Membayangkannya saja sudah membuatku sedih, apalagi jika itu benar-benar terjadi?


     Sepulang dari kantor, aku tidak langsung melajukan mobilku menuju rumah melainkan ke suatu tempat yang aku juga tidak tahu sekarang aku berada di mana. Tempat ini penuh dengan mainan dan juga anak-anak kecil. Kurasa ini taman bermain. Segera ku posisikan diriku pada sebuah ayunan kecil di sebelah perosotan berwarna biru.
     Kusentuh kepalaku dengan perasaan kacau. Bahkan anak-anak yang sedang bermain di sini hampir semuanya menatapku aneh. Anak kecil saja menganggapku aneh, bagaimana dengan orang tua mereka?

     "Ahjussie, ahjussie. Apakah ahjussie sedang bersedih?" Tiba-tiba aku di kagetkan oleh suara sesosok yeoja kecil dengan rambut ekor kudanya dan baju berwarna kuning terang serta wajahnya yang mungil imut itu. Aku mengalihkan pandanganku pada bocah ini sambil tersenyum.
     "Aniya. Ahjussie tidak sedang bersedih, anak manis" Jawabku pelan sambil menyubit pipinya ringan.
     "Tapi ada air di wajah ahjussie. Apakah itu air mata? Jika sedang sedih, Yaein juga akan menangis mengeluarkan air mata seperti itu" Katanya lagi dengan suara putus-putus. Benarkah aku menangis? Tak bisa kupungkiri lagi. Aku memang benar-benar sedang terpuruk saat ini. Segera kuhapus sisa-sisa air mataku dengan kedua punggung tanganku.
     "Aniya, ahjussie tidak menangis"
     "Yaein! Ayo pulang! Ini sudah sore!" Suara teriakkan seorang yeoja muda membuat gadis kecil ini menoleh ke arahnya.
     "Ne, eomma" Sahutnya lalu segera berlari meninggalkanku tanpa pamit. Aku mendesah panjang sambil meremas rambutku.


~***~

     Sesampainya di rumah aku tidak melihat ada Jangseok. Apakah dia pergi? Tapi jika pergi dia selalu pamit padaku lewat telepon sebelumnya. Ah, mungkin ia sedang memasak. Tapi di dapur pun juga tidak ada. Di kamar juga tidak ada. Baik, aku mulai khawatir. Sebenarnya di mana yeoja itu? Seketika ponselku berdering mengagetkanku. Segera kulihat layar ponselku untuk melihat siapa yang menelpon.
     "Yesung-ah, wae geurae?"
     "Ya! Kangin-ah! Cepat kau kemari! Istri mu.." Suara namja yang ternyata tunangan Bora ini terdengar terengah. Mendengarnya menyebut istriku dengan nada panik seperti itu seketika membuatku ikut panik.
     "Ya! Ada apa dengan Jangseok? Katakan yang jelas!"
     "Istri mu terkapar di bar!"
     "MWO?" Jangseok pergi ke bar? Untuk apa? Bukankah dia sendiri yang melarangku pergi ke tempat itu?
     "Cepat kau kemari! Kelihatannya dia terlalu banyak minum alkohol"
     "Ne, aku segera kesana" Jawabku cepat lalu segera mematikan ponselku dan bergegas melajukan mobilku menuju bar.


     "Jangseok-ah! Kau kenapa?" Setibanya di bar aku langsung berlari menuju sebuah bilik yang sudah Yesung beri tahukan padaku ketika di perjalanan. Tubuhnya begitu lemas dan matanya masih setengah terbuka.
     "Dari tadi istri mu ini terus meracau tidak jelas dan selalu menyebut nama mu" Suara Yesung menyadarkanku akan keberadaannya.
     "Bagaimana dia bisa berada di tempat ini?" Tanyaku sambil berusaha menegakkan tubuh kecil Jangseok.
     "Tadi aku sedang merayakan pesta ulang tahun bersama teman-temanku lalu tiba-tiba orang-orang berkerumun di salah satu meja bar. Karena penasaran aku pun melihat apa yang terjadi dan ternyata istri mu sudah terjatuh di lantai dengan berteriak kesakitan memegangi perutnya" Jelasnya dengan wajah khawatir.
     "Ah, gomawoyo Yesung-ah. Jeongmal gomawoyo. Jika tidak ada kau aku tidak tahu bagaimana nasib istriku nanti" Kutengok wajah Jangseok yang kini sudah benar-benar terlelap. Wajahnya begitu pucat.
     "Ne, gwaencanha. Apakah sekarang kau masih memerlukan bantuanku?" Tawarnya.
     "Aniya. Kau sudah cukup membantu. Aku tidak mau merepotkan mu lebih banyak lagi. Sekali lagi terima kasih, Yesung-ah" Aku berusaha mengangkat tubuh Jangseok untuk kubawa pulang dan mengistirahatkannya di rumah "Sekarang aku harus pulang untuk mengompres tubuhnya. Annyeong Yesung-ah"
     "Ne, annyeong. Hati-hati di jalan!".


     Kulajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya benar-benar panas. Aku takut jika dia terkena thypus atau penyakit-penyakit lainnya. Sesampainya di rumah kurebahkan tubuhnya di atas kasur dan mengganti pakaian perginya dengan baju tidurnya.

     "Kangin-ah... Jangan tinggalkan aku" Racaunya masih dengan mata tertutup ketika aku sedang mengompresnya dengan air hangat.
     "Ne, aku di sini. Aku tidak akan meninggalkan mu, Lee Jangseok" Ucapku dengan menciumi tangannya. Aku tak kuasa melihat keadaannya yang lebih kacau dariku ini. Aku tahu dirinya sekarang tengah berjuang melawan rasa sakitnya karena ucapan appa minggu lalu yang jelas sekali menyuruh kami berpisah.
     "Jangseok. Saranghae. Nan jeongmal saranghae" Ku beranikan diriku untuk mengecup bibirnya. Air mata membasahi wajah kami dan aku pun terlelap dengan melingkarkan tanganku pada tubuhnya.


***

     Aroma tokpokki mengusik penciumanku. Perlahan aku membuka mata dan mendapati diriku yang tidur terududuk mengingat semalaman aku menjaga Jangseok namun aku tidak ingat jika aku mengenakan selimut tadi malam. Kuletakkan selimut biru laut yang tersampir di tubuhku ke kasur dan berjalan keluar mengikuti wangi aroma tokpokki. Kulihat Jangseok sudah berada di meja makan sambil melahap masakannya sendiri.

     "Kenapa tidak membangunkanku?" Tanyaku sambil mengambil piring yang berada di atas meja makan. Wajahnya datar sambil terus terfokus pada santapannya tanpa melirikku.
     "Kau terlihat lelah" Jawabnya singkat.
     "Eo.. Apakah kau sudah merasa baikan? Kau sudah tidak sakit lagi?" Ia hanya menggeleng menjawab pertanyaanku.
     "Wae?" Seketika wajahnya ia alihkan ke hadapanku "Kenapa kau pergi ke tempat itu? Sudah berapa gelas alkohol yang kau habiskan semalam?" Lanjutku. Wajahnya menunduk mendengar pertanyaanku.
     "Tatap mataku jika aku sedang berbicara!" Entah keberanian dari mana aku membentak dirinya. Biasanya aku tidak pernah tega memarahinya apalagi membentaknya seperti ini. Kurasa ia terkejut dengan nada bicaraku, kentara sekali dari lonjakkan kecil pada tubuhnya.
     "Kangin-ah, aku sudah lelah" Ujarnya pelan hampir berbisik. Terdengar suara isakan dalam nada bicaranya "Appa mu sudah mulai tidak menyukaiku. Ia bahkan terus mendesak mu agar menyeraikanku. Kau bisa bayangkan seperti apa perasaanku?" Lanjutnya yang kini wajahnya sudah benar-benar basah dengan air mata.
     "Jangseok-ah..." Kugenggam tangannya erat-erat dengan menatap wajahnya nanar.
     "Turutilah ayah mu! Aku yakin kau bukan anak pembangkang. Kau pasti ingin bisa terus mendengar suara ibu mu bukan?" Ucapnya dengan senyum yang kurasa ia paksakan.
     "Tapi aku tidak bisa meninggalkan mu"
     "Aku sudah memikirkannya, Kangin-ah. Aku mencoba untuk kuat jika kau meninggalkanku dan hidup bersama Soyou. Bukankah lebih baik kau mengorbankanku demi ibu mu? Setidaknya aku masih bisa menghirup oksigen di bumi bukan meskipun kita tidak lagi bersama?" Tak kuasa melihat dirinya yang berpura-pura tegar, kurengkuh tubuhnya erat-erat dan menumpahkan air mataku di bahunya dengan sesenggukan.
     "Ya! Dimana seorang Kangin yang kukenal kuat dan tak pernah menangis? Ini bukan Kangin" Ucapnya sambil melepas pelukanku dan menghapus air mata di wajahku dengan tangan lembutnya.
     "Kau tidak boleh seperti ini di depan Soyou! Apa katanya nanti seorang Kangin yang bertubuh besar.." Sebelum ia melanjutkan kalimatnya lebih jauh lagi, kubungkam bibirnya dengan bibirku. Kurasakan tubuhnya yang tadi tegang kini mengendur. Ku peluk tubuhnya hingga ia membalas pelukanku. Mungkin ini adalah ciuman dan pelukan terakhir sebelum aku benar-benar meninggalkannya.


~***~

     "Himchan-ah, menurut mu bagaimana?"
     "Kalau aku jadi kau, tentu saja aku tidak akan melepaskan Jangseok"
     "Tapi ayahku benar-benar sudah tidak bisa di ajak bekerja sama lagi" Kini aku sedang berada di dalam ruang kerjaku bersama Himchan. Di saat seperti ini aku biasa memanggilnya untuk menumpahkan segala keluh kesahku padanya.
     "Emm, aku ada ide gila. Tapi kurasa ide ini cukup membantu" Katanya.
     "Mwo?"
     "Kau bisa berpura-pura mengatakan pada orang tua mu bahwa Jangseok hamil lalu diam-diam kau adopsi seorang bayi dari panti asuhan dan mengatakan bahwa itu adalah anak kalian" Jawabnya yang berhasil membuatku melotot kaget.
     "Kau gila?" Seruku.
     "Aku kan memang sudah bilang ini ide gila" Jawabnya pelan tanpa menatapku atau lebih tepatnya bergumam namun masih bisa tertangkap oleh telingaku.
     "Jika sampai mereka tahu, akan jadi masalah besar! Aku memang pria dan seorang pria harus berani ambil resiko, tapi bukan berarti bertindak bodoh dalam mengambil keputusan kan?"
     "Hmm, kau benar!" Sahutnya sambil manggut-manggut "Aku sudah kehabisan ide untuk membantu mu, kawan" Lanjutnya.
     "Gwaencanha. Kurasa ini memang takdirku. Takdirku yang buruk" Aku mendesah putus asa sambil mengacak rambutku. "Kadang aku berpikir bagaimana kalau aku menuruti perintah ayahku?"
     "Kau serius?" Pekiknya hampir terlonjak dari kursi sambil melotot tak percaya ke arahku.
     "Aku kan bilang hanya berpikir" Ralatku sambil memutar bola mataku malas. Bocah ini benar-benar berlebihan. Bagaimana rekasinya jika dia tahu pembicaraanku dengan Jangseok tadi pagi?
     "Geundae, kini malah Jangseok yang menyuruhku agar menuruti perintah ayahku" Lanjutku yang tentunya aku sudah tidak kaget lagi melihat bagaimana reaksi sahabatku ini yang sudah kuprediksi sebelum aku mengatakan hal ini.
     "MWO????? Apakah dia sudah memikirkannya matang-matang? Bagaimana bisa dia memutuskannya begitu saja? Apa dia sudah tidak mencintai mu lagi?" Rentetan pertanyaannya terpaksa membuatku membekap mulutnya dengan apel yang ada di atas meja kerjaku.
     "Kenapa kau cerewet sekali? Aisshhh" Gerutuku lalu sedetik kemudian kembali kulanjutkan kalimatku "Jika dia bilang dia tak mencintaiku lagi, aku yakin itu pasti bohong. Karena terlihat raut wajahnya yang amat kecewa ketika ia memutuskan untuk menyetujui permintaan ayahku"
     "Aigoo, aku saja yang sahabat mu sudah pusing memikirkan masalah mu ini. Ah, kepalaku jadi ikut-ikutan ingin pecah" Ujarnya sambil merentangkan tubuhnya di atas kursi. Aku hanya bisa mendesah pasrah.


~***~

     "Kangin-ah, sepulang dari kantor nanti kau langsung ke Hongdae Restaurant saja. Aku sudah memesankan kursi untuk makan malam kita"
     "Oh, tumben? Kau tidak memasak?"
     "Aniya. Aku sedang ingin makan di luar"
     "Geurae. Kalau begitu sampai jumpa nanti malam, nae anae" Kutekan tombol merah pada ponselku tanda memutus sambungan telepon. Jangseok mengajakku makan malam? Sepertinya ia sudah melupakan masalah kami. Nada bicaranya barusan di telepon tidak seperti biasanya. Suranya terdengar ceria. Syukurlah, aku senang mendengarnya sudah bisa kembali tertawa.

     Kupatut diriku di cermin sebelum meninggalkan kantor. Makan malam hari ini aku harus terlihat lebih tampan dari biasanya karena ini merupakan kesempatan langka dapat makan malam dengan Jangseok karena biasanya ia tidak suka menghamburkan uang untuk makan di  restoran.
     Selama perjalanan menuju restoran aku tak henti-hentinya tersenyum. Bahkan aku sudah membelikan sebuket bunga lili untuk Jangseok. Aku ingin mengenang masa-masa kami saat berpacaran dulu. Akhirnya aku sampai. Kulihat Jangseok sudah berdiri menungguku di depan pintu masuk. Kenapa dia di luar? Bukankah dia bisa menungguku di dalam?

     "Oppa, kau sudah datang?" Serunya sambil mengahmabur padaku. Tak biasanya ia memanggilku oppa. Jika memanggilku oppa bisa di pastikan dia sedang ada maunya. Aku berusaha meyembunyikan bunga lili yang tadi kubeli di jalan. Rencananya bunga ini akan kuberikan padanya saat sudah mulai acara makan malam nanti.
     Tangannya menuntunku masuk ke dalam restoran bernuansa Korea jaman dulu ini. Langkahnya membawkau pada sebuah lorong gelap yang hanya di terangi dengan beberapa lampu kecil berwarna kuning namun sesaat kemudian aku melihat secercah cahaya dari dalam lorong sampai akhirnya kami sampai di sebuah ruang makan yang cukup besar. Kurasa ini ruang makan VIP.

     "Appa? Eomma?" Pekikku melihat ayah dan ibuku sudah duduk manis di depan meja panjang ini. Tak hanya kedua orang tuaku saja yang ada di ruangan ini, aku juga melihat ada dua orang namja yang nampaknya seumuran dengan ayahku serta seorang yeoja paruh baya dan seorang yeoja muda dengan rambut coklatnya yang tergerai.
     "Ada apa ini?" Tanyaku bingung. Perasaanku mulai tidak enak. Appa beranjak dari kursinya dan mendekatiku.
     "Kangin-ah. Kenalkan. Ini adalah ayah Soyou. Tentunya kau sudah mengenal putrinya bukan?" Sambut ayahku sambil memperkenalkanku pada salah satu dari dua namja tua yang tadi kusebutkan. Oh, ini acara perjodohan.
     "Kim Jeongwoon imnida" Kataku memperkenalkan diri pada namja yang di sebut-sebut sebagai ayah dari Soyou ini.
     "Ah, Kang Jinhyu imnida. Soyou, ayo beri salam" Yeoja yang ternyata Soyou itu bangkit dari duduknya dan berjalan perlahan ke arahku lalu membungkuk 90 derajat.
     "Annyeonghaseyo, Jeongwoon sunbae" Ujarnya. Bukannya membalas aku malah mengalihkan pandanganku pada Jangseok yang kini tengah berdiri mematung menatap kami dengan senyuman yang kurasa ia paksakan.
     "Jeongwoon-ah" Tegur appa pelan sambil menyenggol sikuku. Aku segera tersadar dan langsung membalas sapaan yeoja bernama asli Kang Jihyun ini.
     "Baiklah, bagaimana jika kita mulai acara makan malamnya?" Sela appa yang di sambut anggukan setuju dari Tuan Kang beserta putrinya yang berwajah imut ini. Kuakui Soyou memang memiliki wajah cantik, tubuh tinggi dan langsing, serta rambut yang indah juga pintar, tapi itu semua tak akan dapat mengalihkan rasa cintaku dari Jangseok.

     Kuposisikan diriku berada di sebelah Jangseok yang masih berstatus sebagai istriku. Kuperhatikan wajahnya yang menunduk murunng. Oh, aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Bagaimana bisa ia menyetujui acara perjodohan tak masuk akal ini?

     "Jadi bagaimana? Dari pihak orang tua Jangseok, apakah tuan dan nyonya keberatan dengan perjodohan ini?" Appa mulai angkat bicara lagi setelah beberapa saat hening menyelimuti kami. Dengan raut wajah tak nyaman ayah Jangseok menjawab "Ne. Kami sudah memikirkannya baik-baik. Dan kami rasa memang Jeongwoon sebaiknya bersanding dengan yeoja yang bisa mewujudkan impian keluarga Kim"
     "Ehm.., maaf. Tapi sepertinya cara ini kurang etis. Appa, bagaimana bisa appa mengadakan acara ini bersama kedua orang tua Jangseok? Appa tidak memikirkan bagaimana perasaan mereka?" Selaku namun masih dengan nada bicara yang rendah. Berusaha untuk tetap menghormati orang tuaku, orang tua Jangseok, dan ayah Soyou. Appa berdeham. Mungkin berusaha mencairkan suasana. Aku hanya menyahutnya dengan mendengus pelan lalu sejurus kemudian aku beranjak dari kursi dan menarik lengan Jangseok untuk menyamakan posisiku.
     "Maaf. Kami harus keluar sebentar" Ujarku lalu bergegas menuju keluar restoran di iringi dengan langkah kaki Jangseok yang di paksakan karena tarikanku.

     "Omona! Ya! Apa yang kau lakukan?" Bentak Jangseok sambil mengelus tangannya yang memerah akibat remasan tanganku.
     "Kenapa kau tidak bilang bahwa acara makan malam ini untuk acara perjodohan?" Tanyaku setengah membentak. Rahangku mengeras. Seluruh otot di wajahku bermunculan. Sifat asliku muncul. Ya, Kangin yang pemarah.
     "Jika aku bilang kau pasti tidak akan datang"
     "Kenapa kau menyetujui perjodohan ini?" Tanyaku dengan tatapan tajam dan nada suara yang pelan namun sarat akan emosi. Wajahnya kali ini tak menampakkan ketakutan seperti saat aku membentaknya kemarin. Justru yang ada malah wajah lelahnya yang membuatku miris.
     "Aku sudah pernah bilang pada mu! Aku lelah, Kangin-ah!" Jawabnya sambil balas menatap mataku dalam. Kami tetap seperti ini selama satu menit hingga akhirnya aku tersadar.
     "Kau tidak mencintaiku lagi?" Tanyaku tepat pada bola matanya. Seketika dirinya langsung salah tingkah dan matanya tak lagi menatap mataku namun kupaksa wajahnya agar menatap mataku.
     "Jangseok-ah.."
     "Ani! Aku memang sudah tidak mencintai mu lagi!" Jawabnya tegas.
     "Kenapa kau harus berbohong, Jangsoek-ah?"
     "Aku tidak berbohong!"
     "Kau berbohong!" Selaku cepat. Matanya mulai berkaca-kaca. Untuk berjaga-jaga supaya air matanya tak tumpah begitu saja, segera kudekap dirinya agar ia bisa menumpahkan air matanya di bahuku. Namun tampaknya Jangseok menahan air matanya supaya tak keluar karena aku tak mendengar suara isakan dari bibirnya.
     "Kau benar! Aku berbohong! Selama ini aku berpura-pura kuat! Aku selalu bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa, tapi kenyataannya perasaanku kacau. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan" Akhirnya tangisnya pun pecah di iringi dengan suara isakan dari bibirnya. Kubelai rambut sebahunya dan menciumi puncak kepalanya.
     "Uljimarayo" Ucapku berusaha menenangkan dirinya. "Kau tidak perlu melakukan ini semua jika kau memang benar-benar tidak sanggup! Aku bahkan juga tidak menyetujui perjodohan ini bukan?" Lanjutku. Sedetik kemudian ia melepaskan pelukanku dan menatap mataku dengan mata sembabnya.
     "Andwae! Kau tidak boleh membatalkan perjodohan ini. Kau tidak boleh mempermalukan orang tua mu!" Katanya tegas yang sukses membuatku menautkan kedua alis.
     "Mwo?"
     "Kangin-ah, aku tahu ini berat untuk mu dan untukku. Tapi bagaimana ibu mu? Usianya tak akan lama lagi! Semakin cepat kau menikahi Soyou, maka kesehatan ibu mu juga akan semakin meningkat bahkan mungkin beliau bisa sembuh"
     "Jangseok.."
     "Aku serius! Menikahlah dengannya dan ceraikan aku!"
     "Geundae..." Belum sempat kuselesaikan ucapanku, Jangseok sudah berjalan cepat mendahuluiku masuk ke dalam restoran. Dengan sangat terpaksa kuikuti langkahnya.


***

     Hari ini adalah hari pertunanganku dengan Soyou. Sedangkan perceraianku dengan Jangseok sudah berlangsung seminggu yang lalu. Kutatap diriku di depan cermin. Saat ini wajahku tak bisa di deskripsikan. Sangat memprihatinkan jika kau melihatnya.

     "Kangin-ah, kau sangat tampan nak" Seru eomma yang tiba-tiba sudah berada di belakangku menggunakan kursi rodanya. Kemarin eomma terjatuh dan setelah di bawa ke rumah sakit ternyata trombositnya menurun dan hal itu membuat eomma benar-benar lemah kehilangan tenaga hingga terpaksa harus menggunakan kursi roda.
     "Apakah eomma bahagia aku menikah dengan Soyou?" Tanyaku datar. Sejujurnya eomma tidak mengetahui permasalahan antara aku, appa, dan Jangseok. Yang beliau ketahui adalah persetujuanku dan Jangseok untuk bercerai karena alasan Jangseok yang tak bisa memiliki seorang anak. Eomma tak tahu sama sekali masalah aku yang mati-matian memberontak di jodohkan dengan Soyou. Jika eomma tahu hal itu, sudah jelas kesehatan eomma akan bertambah buruk.
     "Sebetulnya eomma lebih menyukai kau bersama Jangseok. Tapi bagaimana lagi? Kalian sendiri yang memutuskan untuk berpisah. Geundae gwaencanha. Eomma juga cukup bahagia kau menikahi Soyou karena ia adalah anak yang manis dan juga pintar"
     "Begitukah? Aku menikahinya juga untuk memenuhi keinginan eomma yang menginginkan seorang cucu bukan?" Eomma tersenyum simpul padaku, memperlihatkan kerutan di matanya sambil menepuk-nepuk bahuku pelan.
     "Semoga kali ini berhasil, anakku".

~***~

     "Appa, ayo cepat kita mulai!" Paksaku pada appa karena sedari tadi appa tak juga kunjung memulai acara pertunangan padahal para tamu undangan sudah banyak berdatangan. Bukannya aku menyetujui perjodohan ini, tapi aku tak mau jika Jangseok datang lalu melihat pertunangan kami. Aku sudah bilang padanya agar tak menghadiri acara pertunanganku agar dia tidak bersedih ketika melihatku dengan Soyou tapi ia bersi keras ingin hadir. Namun sampai sekarang ia malah belum juga datang, padahal dia sendiri yang memaksa ingin menyaksikan pertunanganku dengan Soyou.
     "Camkkanman! Ada satu tamu undangan yang belum datang! Kita tidak bisa memulai jika ada yang belum datang"
     "Ah, mungkin saja orang itu memang tidak datang! Sudahlah appa, segera mulai saja acaranya" Sergahku namun tiba-tiba Soyou berlari menghampiri kami berdua.
     "Sunbae, abeoji, bus yang di tumpangi Jangseok kecelakaan" Ujarnya dengan raut wajah panik. Aku dan appa melotot kaget ke arahnya secara bersamaan.
     "Mwo???"
     "Barusan dari pihak kepolisian menelpon bahwa terjadi kecelakaan beruntun di daerah barat Seoul dan salah satunya bus yang di tumpangi Jangseok dan kedua orang tuanya juga ikut terguling ke dalam jurang" Jelasnya lagi yang membuat sekujur tubuhku memanas.
     "Appa! Aku harus ke sana!" Tak kuhiraukan para tamu undangan yang menatapku bingung karena aku segera berlari ke arah mobil. Bahkan aku meninggalkan appa dan yang lainnya. Pikiranku kini hanya tertuju pada satu! Yeojaku tercinta, Lee Jangseok.


     Kulajukan mobilku seperti orang kesetanan. Bahkan tak jarang orang-orang di jalan meneriakiku dan memakiku. Aku tidak peduli, aku hanya mengkhawatirkan keadaan Jangseok  dan orang tuanya sekarang.
     Akhirnya aku sampai. Kulihat para polisi dan ambulance yang sudah berkumpul di tempat kejadian. Aku langsung turun dari mobil dan menerjang kumpulan orang-orang yang sedang menyaksikan kecelakaan besar ini.

     "Aish, Jangseok-ah... Eoddisseo?" Aku ikut mencari-cari Jangseok hingga akhirnya seorang polisi menepuk pundakku dan menegurku.
     "Maaf pak, ini adalah tugas polisi dan tim SAR. Sebaiknya anda menunggu di luar garis polisi"
     "Tapi pak, istri saya.."
     "Saya mengerti pak. Silakan anda tunggu di luar garis polisi. Kami akan berusaha mencari semua korban" Aku pun menyerah berdebat dengan polisi ini dari pada Jangseok tidak segera di temukan.


     Sudah lima jam aku -kami- menunggu para polisi dan tim SAR mencari para korban. Hampir semuanya sudah di evakuasi oleh polisi dan dari pihak rumah sakit, tapi aku tak kunjung melihat korban bernama Lee Jangseok. Padahal kedua orang tua Jangseok sudah di temukan. Tapi naas, mereka berdua mengembuskan nafas terakhir saat perjalanan menuju rumah sakit. 
     Appa dan yang lainnya yang menemani kedua orang tua Jangseok saat di bawa ke rumah sakit, mereka semua menyusulku setelah menyelesaikan masalah para tamu undangan malang yang sia-sia berkunjung ke rumahku. Sedangkan aku di temani oleh Soyou masih di tempat kejadian mencari Jangseok yang tak kunjung di temukan.

     "Ya Tuhan, dimana Jangseok?" Gumamku frustasi sambil menutupi wajahku dengan kedua tangan. Kurasakan tangan lembut Soyou mengusap-usap bahuku pelan.
     "Jangseok pasti akan di temukan, sunbae. Kita harus berdoa" Aku hanya meliriknya sekilas dengan wajah merah sembab lalu mengangguk pelan.
     Akhirnya pencarian pun selesai, tapi polisi bilang mereka tidak menemukan korban bernama Lee Jangseok. Tak hanya Jangseok, bahkan masih ada lima penumpang lain yang masih hilang. Ya Tuhan, kenapa harus Jangseok?

     "Kalian kurang teliti! Ayo cari lagi! Pasti ada!" Seruku pada para polisi dan tim SAR. Soyou berusaha menenangkanku.
     "Kami sudah mencari ke seluruh tempat pak, tapi nampaknya lima penumpang yang lain itu terpental sangat jauh dari sini" Jelas salah seorang tim SAR yang berseragam oranye.
     "Arrgghhh! Aku tadi kan sudah bilang untuk ikut mencarinya! Tapi kalian tidak memperbolehkan! Sekarang apa? Kalian tidak bisa menemukannya kan?" Teriakku seperti orang kesetanan. Soyou semakin erat menahanku agar tak melakukan hal-hal berbahaya pada orang-orang ini.
     "Sunbae, sudahlah! Mereka akan mencari Jangseok lagi nanti. Mereka juga butuh istirahat!" Soyou mengingatkan namun hanya kubalas dengan tepisan tanganku dan dengan perasaan kacau kutinggalkan mereka semua yang masih berada di tempat kejadian termasuk Soyou.


***


     Sudah genap satu tahun pasca tragedi kecelakaan maut yang menimpa orang tua Jangseok dan putrinya tersebut. Namun sampai sekarang Jangseok belum juga di temukan. Ada dimana dia sekarang? Apakah dia masih hidup? Kuharap ia masih hidup dan memiliki kehidupan baru yang bahagia tanpaku.
     Kini aku sudah resmi bertunangan dengan Soyou. Sebenarnya appa sudah menyuruh kami untuk menikah lima bulan setelah pertunangan, tapi aku menolak. Rasanya hatiku belum siap untuk membiarkan Soyou menggantikan Jangseok di hatiku. Aku bahkan tak pernah mencintainya. Berkali-kali aku mencoba tapi tetap saja yang ada di hatiku hanya Lee Jangseok seorang.

     Kukunjungi makam kedua orang tua Jangseok. Aku bersimpuh di hadapan makam mereka dan meletakkan buket bunga di depan foto Tuan dan Nyonya Lee lalu berdoa.
     "Abeoji, eommonim. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf karena aku tidak bisa menjaga putri kalian seperti apa yang sudah kujanjiakn pada kalian dulu. Maafkan aku. Sekali lagi kumohon maafkan aku" Lagi-lagi di saat seperti ini Soyou selalu menepuk bahuku.
     "Sunbae, mungkin jika kita tidak melaksanakan pertunangan ini Jangseok dan orang tuanya masih tetap berada di sini. Aku benar-benar menyesal" Ujarnya sambil menunduk. Kulirik dirinya yang tengah menghadap makam ayah Jangseok. Ini pertama kalinya dalam hidupku tersenyum padanya.
     "Kau tak perlu menyesal. Ini bukan salah mu! Appaku yang menjodohkan kita. Jadi kau tidak perlu merasa bersalah" Balsaku berusaha membuatnya tak merasa bersalah lagi.
     "Aniyo sunbae. Jika saja waktu itu aku lebih berusaha lagi berbicara pada Jangseok dan menolak permintaan ayahku, kejadiannya tentu tak akan seperti ini" Elaknya. Kuacak rambutnya singkat dan kembali tersenyum padanya.
     "Sudahlah. Semuanya sudah terjadi. Mungkin Jangseok kini tengah bahagaia dengan kehidupan barunya" Balasku sambil memandang langit yang mulai mendung dan rintik-rintik air hujan yang mulai membasahi bumi.

Jangseok-ah, apakah sekarang kau sedang bahagia?

'Kangin POV end'

-EPILOUGE-

     Himchan, Bora, dan Yesung tengah berteduh dari derasnya hujan yang di sertai dengan angin kencang ketika mereka akan pulang dari acara ulang tahun teman mereka. Mereka bertiga pun memilih untuk berteduh di sebuah restoran dan memesan makanan karena perut mereka yang sudah memberontak.
     Seorang pelayan yeoja dengan serbet di tangan kanan dan notes kecil di tangan kirinya menghampiri mereka yang hampir basah kuyup.
     "Silakan, mau pesan apa?" Tanya pelayan itu ramah. Tak sengaja pandangan Himchan tertuju pada papan nama kecil yang tertempel pada kantung seragam pelayan itu di sebelah kanan dadanya. Himchan berusaha memfokuskan pandangannya lagi terhadap tulisan di papan nama tersebut dan tertera nama:

.LEE JANGSEOK.

-END-
________________________________________________________________________

Nah, akhirnya selesai juga ini sequel. Sekali lagi maaf kalo ceritanya kurang greget dan masih jelek dan ngegantung dan dan dan yang lainnya. Author lagi pengen bikin yang gantung-gantung. Maklumlah, author juga masih belajar. Hehehehe. Okelah, kalo gitu author mengucapkan Merry Christmas bagi yang merayakannya and Happy New Year yeorobeun. Annyeong ^^ 사랑해요 

No comments:

Post a Comment