Blog featuring asian fanfiction and etc.

Tuesday 14 January 2014

Comment Pourrais- Je t'aime, Professeur?

Author : Haepi Hun

Title : Comment Pourrais- Je t'aime, Professeur

Cast : - Cho Kyung (OC)

          - Han Hyekyul (OC/ Readers)

Other Cast : - Lee Songwoo (OC)
                    - Hong Hyoji (OC)

Rating : T, PG-13

Genre : Romance, Fluff, Friendship, School Life

Length : Oneshoot

__________________________________________________

Ini adalah ff pertama author yang main cast-nya bukan berasal dari artis korea mana pun. Hmm... jadi namanya bukan fanfiction, tapi fiction. Hehehe, main cast-nya bisa dibayangin jadi bias masing-masing ya..

________________________________________________________________________

Pagi begitu cerah. Matahari menambah hangat suasana gedung SMA Hokwon International School hari ini. Murid-murid berhamburan di pelataran sekolah, menunggu bel masuk berbunyi sambil membuat suara gaduh dari aktifitas mereka masing-masing. Aku hanya duduk manis di bangku yang ada di depan kelasku dengan memasang earphone dark blue di telingaku yang selalu setia menemaniku setiap hari. Aku bersenandung kecil mengikuti alunan lagu dari earphone milikku lalu beberapa menit kemudian suara bel berbunyi. Dengan tersenyum aku segera melepas earphone-ku dan masuk ke dalam kelas.

Inilah yang kutunggu. Pelajaran pertama di Hari Rabu, Bahasa Perancis. Bukan karena aku menyukai Bahasa Perancis, justru aku sangat payah dalam bahasa bahkan Bahasa Korea pun terkadang aku masih belum becus, tetapi karena guru pengampu Bahasa Perancis itulah yang membuatku kini jadi menggemari bahasa negeri impian itu. Dialah, Cho Kyung. Meskipun dia sangat tampan dan bersahabat, tetapi tidak sedikit juga murid yang tak menyukainya. Itu karena imejnya yang terkenal tegas dan terkesan galak ketika mengajar. Meskipun begitu, di luar sekolah perilakunya sangat manis. Sangat berkebalikan ketika sedang mengajar.

"Han Hyekyul!" Aku menelan ludahku mendengarnya memanggil namaku dengan suaranya yang berat itu. Oh, apakah kali ini aku akan dimarahinya lagi? Ya, aku sering ditegur olehnya karena kelalaianku, tapi hal itu tidak pernah mengurangi 0,00 persen pun rasa sukaku padanya.

"Ne? Seonsaengnim?" Jawabku takut-takut seraya mengangkat tangan kananku ke udara. Wajahnya tampak datar. Setelah mengembuskan nafas panjang ia menyuruhku untuk maju ke depan.

"Sekarang tolong isi soal-soal ini." Kepalanya mengarah pada papan tulis. Sial! Sedari tadi aku tidak mendengarkannya menerangkan pelajaran. Sekarang apa yang harus kulakukan?

"So... soal di papan tulis ini, saem?"

"Tentu saja. Saya baru saja menjelaskan tadi, jadi sekarang kau harus bisa mengerjakannya." 

Tenggorokanku terasa tercekat. Ini seperti aku sedang dikepung oleh puluhan harimau lapar yang siap menerkamku. Bayangkan saja, dari sepuluh soal ini tidak ada satu pun yang bisa kukerjakan. Aku tahu dia pasti sengaja melakukan ini padaku.

"Saya menunggu, Han Hyekyul!" Ujarnya penuh penekanan. Sial! Dengan perilakunya yang seperti ini kenapa aku tidak juga bisa untuk berhenti menyukainya? Akhirnya dengan gugup aku kembali menghadapnya. "Joisong... joisonghamnida saem. Tapi saya tidak dapat mengerjakannya." Aku menundukkan kepalaku. Aku sangat malu dipermalukan seperti ini di depan kelas.

"Bahkan satu nomor pun?" Aku tetap pada posisiku.

"Han Hyekyul! Saya selalu memperhatikanmu di kelas dan kamu selalu kedapatan sedang melamun. Kamu tidak pernah mendengarkan penjelasan saya. Bagaimana kamu bisa meningkat jika terus begini?" Seisi kelas hening termasuk aku. Jika sudah begini sang ketua kelas yang biang onar pun pasti juga akan membisu. Cho Saem akhirnya menyerah menghadapiku yang hanya bisa berdiam diri kemudian ia menyuruhku untuk kembali ke bangku.


"Sering diperlakukan seperti ini perasaanmu tetap tidak berubah?" Suara Lee Songwoo mengejutkanku. Dia adalah sahabatku yang terbaik. Meskipun dia laki-laki, tetapi dia selalu dapat memberikanku solusi ketika aku sedang dalam masalah.

"Eh.. Kapjakkiya!" Aku pun memersilakannya untuk duduk di sebelahku sambil menikmati minuman kami masing-masing.

"Kau masih tetap mengharapkannya?" Lanjutnya.

"Aku sudah berkali-kali mengatakan padamu, aku tidak pernah mengharapkannya. Aku hanya menyukainya saja."

"Dan aku juga sudah berkali-kali mengatakan padamu bahwa kau tidak bisa membohongiku." Aku terdiam mendengar jawabannya.

"Ayolah! Aku sudah lama mengenalmu Han Hyekyul." Dia benar. Mungkin aku yang tidak bisa jujur terhadap diriku sendiri bahwa sebenarnya aku sangat mengharapkan Cho Saem.

"Baiklah. Kau menang. Tapi itu tidak mungkin! Dia adalah guru, sedangkan aku murid didiknya. Bagaimana mungkin bisa?" Jawabku putus asa.

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kau berusaha!" Tepat setelah Songwoo menyelesaikan kalimatnya bel pun berbunyi. Kami pun kembali masuk ke dalam kelas.

Sepulang sekolah aku terus merenungi ucapan Songwoo di kantin. Mungkin selama ini aku terlalu menutup diri. Tapi guru sesempurna Cho Saem mana mungkin melirikku? Bahkan hal yang bisa dia lakukan padaku hanyalah terus menegur dan memarahiku. Dia selalu mempermalukanku di depan kelas.

"Apa yang aku pikirkan? Kenapa aku bisa ada di sini?" Rutukku menyadari sekarang aku berada di depan sebuah apartemen pinggir kota. Aku tidak mengerti tetapi kakiku membawaku kesini. Memikirkan guru itu membuatku tidak fokus. Ketika aku akan kembali pulang, tiba-tiba aku melihat sesosok yang sangat familiar sedang berjalan keluar apaprtemen untuk membeli minuman kaleng di mesin minuman yang berada di depan gedung. Dia berambut pendek tanpa poni dan mengenakan sweater serta celana panjang berwarna abu-abu. Aku memicingkan mataku demi memastikan pria itu.

"Astaga! Dia Cho Saem? Apa dia tinggal di situ?" Pekikku. Kali ini guru itu tampak berbeda 180 derajat dari biasanya. Aku bahkan hampir tidak mengenalinya karena ia melepas kacamata dan mengubah sedikit gaya rambutnya. Ketika di sekolah dia terlihat sangat rapih. Mataku terus mengikutinya hingga ia kembali masuk ke dalam apartemen. Barulah saat ia benar-benar sudah menghilang dari pandanganku, aku melangkahkan kakiku untuk kembali pulang.

***

"Selamat sore anak-anak!"

"Selamat sore, Pak!" Sore ini aku kembali bertemu dengan pelajarannya. Namun ada yang berbeda dengannya hari ini. Wajahnya tampak lebih pucat.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan." Tiba-tiba wajah Songwoo kini sudah berada tepat di sebelah wajahku. Aku memekik kaget menghadapnya.

"Aishh.. Jinjja!" Gerutuku. Namun bukannya kembali ke tempatnya ia malah menggeser bangkunya lebih dekat ke arahku.

"Kau lihat sendiri bukan wajahnya sangat pucat? Ini adalah kesempatanmu." Ucapnya dengan suara berbisik namun pandangan matanya tetap mengarah ke papan tulis.

"Mwo? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan." Balasku dengan mengernyit.

"Dasar lamban! Jika kau benar-benar menyukainya, maka kau harus memberinya perhatian!" Lanjutnya dengan nada yang sedikit lebih tinggi hingga Lee Sebyun dan Jung Minchul menoleh ke arah kami berdua.

"Jadi menurutmu aku harus bagaimana? Datang ke rumahnya dan membuatkannya makanan? Jangan bercanda Lee Songwoo!"

"Tidak! Aku serius! Sepulang sekolah hampiri dia dan berikan sesuatu padanya yang kira-kira dapat menyenangkan perasaannya."

"Kau gila? Aku tidak seberani itu!"

"Aku akan membantumu!"

Akhirnya dengan perasaan ragu aku mengikuti ide Songwoo. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Songwoo dengan segera pergi bersama motor besarnya untuk membeli sebuah bingkisan. Sebelum Cho Saem pulang, Songwoo sudah tiba di sekolah dengan membawa bingkisan. 

"Sekarang cepat berikan ini padanya!" 

"Kau yakin? Bagaimana jika dia menolak?" Tanyaku dengan perasaan cemas. 

"Aku yakin dia pasti akan menerimanya. Cepatlah sebelum dia pulang!" 

Dengan perasaan takut aku mengetuk pintu ruangannya. Beberapa detik kemudian aku mendengar suara seseorang dari dalam yang memersilakanku untuk masuk. Aku pun segera membuka pintunya dengan perlahan. 

"Silyehamnida..." Ya Tuhan! Bahkan dengan penampilannya yang kini sudah tidak berbentuk lagi ia masih tetap saja tampan. Kasihan sekali, pasti sekarang kondisinya begitu buruk. 

"Ah, Han Hyekyul? Ada perlu apa?" Bahkan suaranya terdengr lemah, tidak seperti biasanya yang bersemangat. 

"Aniyo seonsaengnim. Aku hanya ingin... memberikan ini untuk seonsaengnim. Mohon diterima." Kataku gugup seraya menyerahkan bingkisan itu padanya. Kepalaku tetap menunduk sehingga aku tidak dapat melihat reaksinya. Aku terlalu pengecut hanya untuk sekadar menatap wajahnya. Namun kudengar ia tertawa pelan. 

"Apa ini? Kau tidak sedang berusaha menyuapku bukan?" 

"Aa.... aniyo! Aniyo! Aku tidak ada maksud apa-apa. Sungguh!" Kulihat ia kembali tersenyum kemudian mengambil bingkisan itu dari tanganku. 

"Ne, aku hanya bercanda! Tapi kenapa tiba-tiba kau memberikan ini padaku?" Sial! Sekarang aku harus menjawab apa? 

"Aku.... melihat seonsaengnim yang sejak tadi pagi terlihat pucat, kupikir seonsaengnim sedang sakit jadi aku membelikan ini untuk seonsaengnim." Bodoh! Apa yang telah kukatakan? Kini wajahnya tampak mengernyit tapi masih dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Kini aku benar-benar sudah tidak bisa menghadapinya lagi. Jadi kuputuskan untuk meninggalkan ruangannya. 

"Baiklah, kalau begitu aku harus pulang sekarang. Annyeonghaseyo.." Baru aku akan melangkahkan kakiku keluar, tangan Cho Saem sudah lebih dulu menahan tanganku. Reflek aku menghadap ke arahnya. Wajahnya kini sudah dipenuhi dengan senyum simpulnya. 

"Gomawo Han Hyekyul." Aku tersenyum kaku menanggapinya. Aku terlalu malu melihat wajahnya dalam jarak sedekat ini. Setelah selesai memberikannya bingkisan, aku segera keluar dari ruangannya dengan perasaan bahagia bercampur gugup dan aku langsung menemui Songwoo yang sedari tadi menungguku di depan ruangan Cho Saem.

"Apa kubilang? Dia menerimanya kan?" Aku tersenyum lebar menanggapi Songwoo.

"Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaanku saat ini, tapi satu hal..... AKU SANGAT SENANG!!!!!" Tak bisa kuelak lagi bahwa sekarang perasaanku sangat berbunga-bunga hingga aku berteriak tepat di telinga Songwoo.

"Aigoo! Gendang telingaku bisa rusak, bodoh!"

"Jeongmal, jeongmal, jeongmal, jeongmal gomawoyo Lee Songwoo!" Aku memeluknya singkat setelah itu aku berlari meninggalkannya sebelum Cho Saem melihat apa yang kami lakukan.

***

Tak terasa kini sudah pertengahan semester. Itu artinya seluruh murid kelas dua akan melaksanakan kegiatan tengah semester di Nami Island. Akhirnya aku bisa mencuci otakku setelah sekian lama aku terus-menerus berkutat dengan buku-buku pelajaran di sekolah.

"Hyekyul-ah! Ayo ke sini! Kau tidak ingin bersenang-senang?" Teriak Hyoji dari pantai memanggilku untuk bergabung dengannya dan yang lain untuk bermain di pantai.

"Ani! Kau saja! Aku tidak ingin pakaianku basah." Jawabku. Ia pun melanjutkan acara bermain airnya bersama teman-temanku yang lain.

Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat sesosok tubuh tegap. Ia tampak sedang bercengkrama bersama Kim Seonsaengnim. Tanpa sadar aku tersenyum-senyum sendiri melihatnya. Padahal wajahnya ketika sedang tertawa seperti itu sangat tampan, tapi kenapa ia selalu bersikap galak ketika mengajar? Coba saja sikapnya selalu seperti ini, aku yakin pasti tidak hanya aku yang menyukainya.

Malam ini kami semua mengadakan makan malam bersama di sebuah resort kecil yang sudah sekolah kami sewa. Resort ini cukup menarik karena tempatnya yang cukup tinggi sehingga kita semua dapat melihat keindahan alam dari atas sini. Aku yakin aku akan menjadi perempaun paling bahagia jika dapat makan malam di sini bersama seseorang yang kucintai, karena  sungguh tempat ini begitu romantis.

"Pemandangannya indah sekali ya?" Aku terkejut begitu mengetahui Cho Saem kini telah berada di sampingku dengan membawa segelas kecil cola.

"Eo? Seonsaengnim? Ne... pemandangannya sangat menarik." Timpalku. Ia tetap saja menatap lurus ke arah pegunungan di depan kami sambil menyandarkan kedua tangannya yang sedang membawa gelas cola ke pagar kayu yang tengah kugunakan juga untuk bersandar. Aku memerhatikan wajahnya yang sedang terkagum-kagum itu.

"Apakah aku setampan itu sampai-sampai kau selalu menatap wajahku?" Kini wajahnya menoleh ke arahku dengan tersenyum. Aku seperti orang bodoh sekarang. Apakah sikapku begitu jelas?

"Aku ... tidak mengerti maksud seonsaengnim." Jawabku kaku. Jujur saja, aku sedikit tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Mengapa ia tiba-tiba bertanya seperti itu?

"Aku sering mendapatimu sedang memerhatikan wajahku ketika aku mengajar. Awalnya kupikir kau memerhatikan pelajaranku, tetapi jika seperti itu seharusnya nilaimu baik tetapi kenyataannya kau selalu mendapatkan nilai jelek dalam pelajaranku. Jadi kupikir selama ini kau hanya memerhatikan wajahku saja." Jelasnya panjang lebar yang sukses membuatku ternganga. Memang tidak salah dia menjadi seorang guru. Pria ini sungguh jenius. Bahkan tebakannya sangat tepat.

"Eo... mmm.... aku ... jadi menurut seonsaengnim aku seperti itu?" Balasku dengan ragu. Kulihat ia menggaruk tengkuknya.

"Ya.. mm... entahlah. Kurasa tebakanku salah. Mungkin nilaimu yang seperti itu karena kau kurang beruntung saja. Mianhae... aku asal berbicara." Apakah aku baru saja melihat Cho Saem salah tingkah? Kenapa tiba-tiba ia jadi gugup seperti itu?

"Baiklah, kalau begitu aku akan berkumpul dengan guru-guru yang lain. Annyeong!"

"Ne.." Mendadak aku menjadi ikut salah tingkah karena ucapan Cho Saem barusan. Pria itu, hanya dia satu-satunya guru yang dapat membuatku jadi seperti ini.

***

Hari ini adalah saat di mana kami semua diberi tugas oleh Mr. Lee untuk mewawancarai turis asing dengan Bahasa Inggris. Ini akan menjadi nilai tugas Bahasa Inggris semester 2. Aku sangat gugup, ini adalah pertama kalinya aku berbicara dengan orang asing menggunakan bahasa asing pula.

"Bagaimana wawancaramu?"

"Untungnya berjalan lancar. Kau?"

"Tentu saja! Tidak perlu ditanya lagi, seorang Lee Songwoo adalah pembicara ulung!" Aku mendesis mendengar jawaban sahabatku yang satu ini.

"Ya! Lihatlah!" Aku mengikuti arah kepala Songwoo. Yang kulihat sekarang adalah Hyoji yang sedang duduk di samping Cho Saem. Kurasa ia sedang bertanya mengenai tugas Bahasa Perancis.

"Wae?"

"Kurasa kau memiliki saingan sekarang." Aku melirik sinis Songwoo yang justru tertawa puas.

"Kau ini bicara apa? Hong Hyoji juga sahabatku! Tidak mungkin dia seperti itu!"

"Sahabat terselubung?" Aku memajukan bibirku melihat dirinya yang kini tersenyum simpul. Songwoo benar. Hyoji bukanlah benar-benar sahabatku karena yang paling mengetahui rahasiaku hanyalah Songwoo. Hyoji bahkan tidak tahu bahwa aku menyukai Cho Saem. Entahlah, tapi rasanya aku lebih nyaman berteman baik dengan laki-laki dari pada perempuan. Menurutku perempuan itu menyeramkan. Ia bisa sangat manis di depan orang yang ia benci tetapi di belakang ternyata menusuk.

"Jika kau tidak ingin ia diambil oleh siapa pun, maka kau harus berusaha mendapatkannya! Jangan sampai ia terlepas!" Aku terus merenungi ucapan terakhir Songwoo itu. Dan sialnya aku mulai tersugesti oleh kata-kata Songwoo. Memikirkan semua ini bisa membuatku gila.

Setelah seminggu berada di Nami Island, akhirnya sekarang kami semua kembali pulang ke Seoul. Dengan tergopoh-gopoh aku memasuki rumahku karena banyaknya barang yang kubawa dari pulau itu. Dan sekarang kami sudah harus kembali sekolah, menjalani aktifitas normal lagi. Ah, sangat membosankan.

"Hei! Kudengar hari ini Cho Saem tidak mausk."

"Jinjja? Wae geurae?"

"Kudengar ia sedang sakit, jadi hari ini pelajaran Bahasa Perancis kosong! Yeeaayyy!!!"

Mwo? Cho Saem sakit? Apa mungkin ia terlalu lelah sehabis dari Nami Island? Aigoo, kenapa aku jadi panik seperti ini?

"Kau dengar sendiri kan?" Lagi-lagi Songwoo sudah duduk di sebelahku dan mengejutkanku.

"Ne. Lalu aku harus apa lagi?" Balasku ketus.

"Kau masih bertanya? Tentu saja kau harus menjenguknya!"

"Maksudmu ke apartemennya? Kau benar-benar sudah gila! Kali ini idemu sungguh tidak masuk akal!" Protesku.

"Wae? Bukankah kau bilang kau pernah melihat apartemennya? Seharusnya kau memanfaatkan pengetahuanmu itu! Jangan sampai orang lain mengetahuinya dan mendahuluimu!"

"Geundae..."

"Nanti malam aku akan mengantarmu!" Lagi-lagi aku belum selesai berbicara ia sudah meninggalkanku begitu saja.

Malam akhirnya tiba dan sekarang aku sudah berada di depan apartemennya. Aku bertanya pada seorang resepsionis di mana kamar Cho Saem. Setelah mendapatkan nomor kamarnya aku segera bergegas dengan membawa berbagai macam buah-buahan. Dengan ragu aku menekan tombol bel yang terletak di sebelah pintu kamarnya. Setelah menunggu beberapa lama, terlihatlah sesosok pria yang keadaannya sudah sangat parah. Lebih kacau dari terakhir kali aku menemuinya.

"Seonsaengnim.." gumamku. Kulihat ia sedikit terkejut dengan kedatanganku yang mendadak ini.

"Han Hyekyul? Apa yang kau lakukan di sini?" Suaranya terdengar parau.

"Ah, aku membawakan ini untuk seonsaengnim." Jawabku seraya mengangkat kantong plastik berisi buah-buahan itu ke hadapannya kemudian ia memersilakanku untuk masuk.

"Bagaimana kau tahu apartemenku?"

"Tadi... aku sedang mengunjungi apartemen temanku lalu aku dengar Cho Saem tinggal di sini juga jadi aku mencoba bertanya pada resepsionis dan ternyata benar." Dustaku sambil mengembangkan senyuman.

"Jadi begitu. Kau ingin minum apa?" Tanyanya sambil berjalan menuju dapur.

"Sebenarnya tidak perlu, tapi....." Ucapanku terhenti ketika mendengar suara gelas yang terjatuh.

"Omo!" Aku segera berlari menyusul Cho Saem. Betapa terkejutnya aku melihat seonsaengnim yang sudah tersungkur di lantai bersama pecahan gelas. Aku langsung mengangkat tubuh beratnya itu dan merebahkannya di kasur. Aku mencium bau anggur di mulutnya. Jadi dia mabuk?

"Aigoo, seonsaengnim. Kenapa minum jika sedang sakit?" Ujarku panik dan berniat menuju dapur untuk mengambilkan air kelapa namun langkahku terhenti ketika tangan besarnya menggenggam tanagnku.

"Kajima!" Ujarnya lirih dengan matanya yang steengah terpejam.

"Seonsaengnim, aku hanya ingin mengambilkan air kelapa untukmu."

"Aku tidak butuh air kelapa! Aku hanya butuh kau!" DEGH!!! Rasanya darahku berhenti mengalir dan jantungku berpacu dua kali lebih cepat. Apa yang baru saja ia katakan?

"Ne?"

"Tetaplah di sini." Akhirnya aku pun luluh dan memutuskan untuk menemaninya hingga terlelap. Genggamannya di tanganku begitu erat hingga aku tidak sanggup pergi kemana-mana. Aku mencoba mengirim sebuah pesan pada Songwoo agar tidak menungguku.

Keesokan paginya, aku hampir datang terlambat karena aku berada di apartemen Cho Saem hingga larut sehingga aku bangun kesiangan. Hal itu tentu membuat curiga Lee Songwoo.

"Katakan padaku apa yang kau lakukan di apartemen Cho Saem kemarin?" Tanya Songwoo dengan nada menyelidik.

"Kurasa kemarin itu dia tidak sakit. Tapi mabuk! Ia memaksaku untuk tetap berada di apartemennya hingga ia tertidur. Aku sampai bingung dengan sikapnya yang aneh itu."

"Jinjja? Tidak ada hal lain?"

"Menurutmu aku perempuan apa?" Sentakku padanya

"Santailah! Aku kan hanya bertanya!"

"Tapi pertanyaanmu itu menyinggungku!"

Setelah bel masuk berbunyi, aku segera berjalan menuju kelasku. Ketika aku melewati ruang guru tak sengaja aku berpapasan dengan Cho Saem. Ia menatapku dan kami menghentikan langkah kami sejenak. Ia tersenyum padaku setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya begitu pun aku.

Sial! Kenapa hari ini harus turun hujan? Jika begini aku tidak bisa pulang dan terpaksa harus menunggu hujan reda. 

"Ya! Han Hyekyul!"

"Ah, untung ada kau Lee Songwoo! Tolong antarkan aku pulang, jebal..." rengekku padanya.

"Enak saja! Aku ke sini ingin memberitahumu bahwa hari ini Jung Ahyoon akan menyatakan cinta pada Cho Saem, jadi kau harus lebih dulu daripada dia! Jangan sampai Cho Saem jatuh ke pelukan Ahyoon! Annyeong!"

"Ya! Lee Songwoo!!" Belum selesai bicara aku sudah ditinggalnya lagi. Apakah benar Jung Ahyoon akan menyatakan cinta pada Cho Saem? Jadi ternyata tidak hanya aku yang mengagumi guru itu?

Ketika sedang berpikir keras, tiba-tiba sebuah motor sport putih sudah berhenti di hadapanku. Orang yang mengendarainya langsung membuka kaca helmnya.

"Cepat naik!"

"Eo? Seonsaengnim... geundae...."

"Cepat naik! Aku akan mengantarmu!" Akhirnya aku menaiki jok belakang motornya smabil mengenakan jas hujan miliknya.

"Ramalan cuaca hari ini akan hujan badai. Jadi pegangan yang erat karena aku akan mengebut!" Cho Saem langsung melajukan motornya dengan kecepatan tingi. Aku hampir saja terjatuh bila aku tidak cepat-cepat berpegangan padanya.

Kami berdua menerobos derasnya hujan yang disertai dengan angin kencang.  Namun akhirnya kami sampai di apartemen seonsaengnim dengan selamat.

"Kurasa percuma saja mengenakan jas hujan." Gurauku menyadari bahwa sekarang tubuhku sudah basah kuyup.

"Tapi setidaknya kau telah memenuhi syrat untuk dapat menaiki motor, bukan?" Balasnya juga dengan tertawa. 

"Maaf aku membawamu ke sini. Tidak mungkin aku mengantarmu pulang sedangkan tadi di perjalanan hujan sudah mulai dibarengi dengan angin kencang." 

"Gaencanha. Seharusnya aku berterimakasih pada seonsaengnim." 

Kami beruda pun memasuki apartemennya setelah itu ia memersilakanku untuk duduk di sofa coklatnya.

"Duduklah. Aku akan mengambilkanmu baju ganti."

Setelah bergnati pakaian kami pun mengobrol di ruang tamu sambil sesekali bercanda. Ia benar-benar orang yang menyenangkan ternyata.

"Seonsaengnim... maaf sebelumnya jika aku lancang, tapi... kenapa kemarin seonsanegnim mabuk?" Tanyaku pada akhirnya.

"Kau benar-benar ingin tahu?" Selidiknya. Aku mengangguk pelan.

"Baiklah. Ayahku sedang mengalami sakit keras dan ibuku bersi kukuh ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya karena permintaan ayahku hanya satu, yaitu bisa melihatku di pelaminan sebelum ia meninggal namun masalahnya aku ingin mencari wanitaku sendiri." Aku mengangguk-angguk mengerti mendengar ceritanya. Jadi itu sebabnya ia selalu terlihat lesu?

"Lalu apakah sekarang seonsaengnim sudah mendapatkannya?"

"Apakah menurutmu aku akan tetap mabuk jika aku sudah mendapatkannya?" Aku tertawa lebar mendengar jawabannya. Kasihan sekali Cho Saem. Kalu begitu aku harus bisa membuatnya jatuh cinta padaku. Aku harus membuktikan padanya bahwa aku adalah takdirnya. Aku akan mengutarakan perasaanku sekarang.

"Begini, sebenarnya.... aku... emmm... bagaimana ya mengatakannya?" Kulihat Cho Saem masih setia menunggu kelanjutan kalimatku dengan sebelah alisnya yang terangkat.

"Sebenarnya... aku menyukai Cho Saem. Aku sudah lama memerhatikan seonsaengnim. Jadi tebakan seonsaengnim waktu itu memang benar 100 persen. Aku sangat menyukai seonsaengnim." Akhirnya kalimat ini bisa keluar dari mulutku. Kulihat senyum lebarnya tergantikan dengan senyum datarnya. Oh, apakah ini artinya ia menolakku? Tapi bukankah memang itu prediksiku sejak awal?

"Lalu?"

"Lalu... ya... bagaimana menurut seonsaengnim?" Tanyaku kikuk.

"Bagaimana apanya?"

"Ah... seonsaengnim, jangan membuatku bingung!"

"Aku tidak membuatmu bingung." Baiklah. Guru ini malah membuatku naik pitam. Apakah dia sengaja mempermainkanku?

"Oke! Seonsaengnim tahu kan aku ini perempuan. Aku tidak mungkin mengatakannya sefrontal itu yang aku yakin seonsaengnim pasti sudah tahu maksudku." Kulihat ia mengembuskan nafas panjang.

"Mungkin aku bisa menjadi wanita pilihan seonsaengnim."

KYAAA!!!!!! Tidak kusangka ternyata seonsaengnim mau menerimaku. Aku tidak percaya! Ini seperti sebuah mimpi. Aku harus menceritakan ini pada Songwoo.

Setelah lama mengobrol di apartemen Cho Saem, aku pun kembali pulang. Sebelum keluar dari apartemen, Cho Saem menahanku sejenak.

"Karena sekarang kau adalah yeoja chinguku, jadi aku akan mengajarimu Bahasa Perancis supaya nilaimu itu bisa meningkat!" Ujarnya sambil mengacak rambutku.

"Ne.. seonsaengnim. Mohon bimbingannya.." Gurauku seraya membungkukkan tubuh padanya. Kami tertawa bersama.

"Baiklah, kalau begitu aku pulang. Annyeong!" Baru aku melangkahkan satu kakiku tiba-tiba saja tubuhku diputar kebalakang kembali kemudian Cho Saem memelukku erat. Aku sangat terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba ini. Jujur, sekarang jantungku benar-benar tak karuan.

"Gomawo.."

"Untuk apa, saem?"

"Karena telah menyukaiku." Ia pun melepaskan pelukannya dan menatapku sejenak. Semakin lama wajahnya semakin dekat denganku. Huft! Ternyata ia hanya ingin mencium keningku.

"Sudah sana pulang!"

"Ne.. Annyeong!"

"Annyeong!"

Malam ini aku pun kembali pulang dengan perasaan yang tidak dapat kuungkapkan hingga kedua orangtuaku keheranan melihat putri semata wayangnya ini yang tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri.

***

Pagi ini Cho Saem tidak seperti biasanya. Jika biasanya di setiap pelajarannya aku akan selalu ditegur olehnya, sekarang justru ia selalu melemparkan senyuman padaku. Ah, senangnya.

"Hyekyul-ah, kenapa hari ini dia tidak menegurmu? Apa kalian sudah..." Bisik Songwoo tepat di sebelahku.

"Sstttt!! Ne! Kau benar!"

"MWO?????" Pekikan Songwoo membuat Cho Saem menoleh ke arahnya.

"Ada apa Lee Songwoo?"

"Eh.. ani, saem." Aku tertawa geli melihatnya ketakutan. Sekarang kau harus berganti merasakan rasanya menjadi diriku, Lee Songwoo! Hahahaha.


"Selamat siang, seonsaengnim..." sapaku ketika aku memasuki ruangannya. Ia tampak terkejut.

"Hyekyul, apa yang kau lakukan? Bagaimana jika ada yang melihat?" Ujarnya seperti orang ketakutan.

"Wae? Memangnya kenapa? Aku kan tidak melakukan apa-apa. Aku hanya ingin memberikan makan siang padamu." Aku pun menyerahkan sebuah kotak makan padanya dan ia langsung membukanya.

"Aku membuatnya sendiri, khusus untuk guru Bahasa Perancisku."

"Wah, gomawo. Kau benar-bnar murid teladan." Kami berdua tertawa dan aku pun menghabiskan istirahatku dengan makan siang bersama di ruangannya.

***

Sudah seminggu ini aku menjalin hubungan rahasia dengan Cho Saem. Perbedaan usia 9 tahun tidak menjadi penghalang bagi kami berdua. Namun kenapa selama satu minggu ini aku belum pernah mendapat ucapan 'Saranghae' dari mulutnya? Apakah ia tidak benar-benar menerimaku sebagai yeoja chingunya?

"Wahhh apa ini?"

"Wah wah wah... ini sunguh keterlaluan!"

"Iya! Ini sangat memalukan!" Aku melihat kerumunan murid-murid yang sedang sibuk mengoceh melihat papan mading. Karena penasaran aku mencoba untuk mencari tahunya.

"Permisi.. permisi.." Aku membelah kerumunan orang-orang ini hingga akhirnya aku dapat melihat apa isi mading itu.

Betapa terkejutnya aku melihat beberapa fotoku bersama Cho Saem tertempel di mading ini. Ini foto di mana Cho Saem sedang memelukku waktu aku akan pulang dari apartemennya. Sial! Siapa yang telah berani-beraninya mengambil gambar kami?

"Hyekyul! Kau berpacaran dengan Cho Saem?" Pekik Hyoji yang kini sudah berada di sebelahku.

"Tidak! Kenapa foto-foto ini ada di sini?" Dengan panik aku mengambil semua foto-foto itu dan membawanya pergi tanpa menghiraukan pertanyaan Hyoji. Semua murid yang ada menatapku jijik bahkan ada yang menggunjingku.

Ketika aku sedang berlari, tanpa sengaja aku menabrak tubuh seseorang hingga membuat foto-foto yang kubawa berserakan di lantai. Aku melihat orang itu yang ternyata adalah Cho Saem.

"Seonsaengnim..." akhirnya aku tidak dapat membendung air mataku lagi. Aku berharap ia akan menenangkanku namun yang ada justru ia menatapku datar dan setelah itu meninggalkanku begitu saja bahkan tanpa membantuku berdiri. Aku bertambah menangis diperlakukan seperti ini.

"Ayo bangun!" Tiba-tiba seseorang membantuku berdiri.

"Lee Songwoo!" Aku langsung memeluknya begitu tahu bahwa Songwoo lah yang membantuku.

"Tenanglah! Kita bisa selesaikan masalah ini dengan kepala dingin." Ujarnya seraya menepuk-nepuk punggungku.

Malam ini aku berkunjung ke rumah Songwoo karena tidak mungkin aku akan menangis di hadapan orang tuaku.

"Sekarang aku harus bagaimana? Semua orang sudah tahu bahwa aku dan Cho Saem berpacaran. Aku sangat malu." Kututupi wajahku dengan kedua tanganku.

"Dan yang paling membuatku sedih adalah dia bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun padaku. Aku takut dia marah dan memutuskan hubungan kami."

"Sekarang masalahnya adalah bagaimana jika sampai berita ini menyebar ke orang tuamu? Bisa-bisa kau dikeluarkan dari sekolah." Tangisku bertambah kencang mendengar jawaban Songwoo yang sama sekali tidak membangun itu.

"Aigoo! Baiklah.. aku akan membantumu sebisaku."

Hari ini aku menjalani rutinitas sekolahku dengan tidak bersemangat. Rasanya aku seperti ingin mati saja.

"Han Hyekyul, kau dipanggil ke ruang kepala sekolah." Oh Tuhan! Apakah sekarang saatnya?

Kini aku sudah berada di dalam ruang kepala sekolah bersama Cho Saem. Suasana begitu tegang. Hanya terdengar suara jarum jam yang terus berjalan.

"Perbuatan kalian ini sungguh memalukan! Apa kata orang jika seorang guru yang seharusnya memberikan contoh yang baik justru memacari muridnya sendiri. Oh, aku bahkan baru kali ini mendapat masalah yang seperti ini selama 12 tahun aku bekerja sebagai seorang kepala sekolah!" Kami berdua hanya mampu menunduk takut mendengar gelegar amarah Ibu Kepala Sekolah.

"Cho Seonsaengnim! Kenapa anda melakukan hal seperti ini? Usia kalian bahkan terpaut jarak yang cukup jauh! Anda pengidap pedophilia?" Sentaknya lagi. Rasanya aku ingin menangis sekarang melihat Cho Saem dibentak-bentak seperti ini. Semua ini adalah salahku.

"Joisonghamnida.."

"Dan kamu Nona Han Hyekyul! Mau jadi apa kamu jika masih SMA saja kelakuanmu sudah seperti ini?" Aku hanya bisa terus berdiam diri bahkan hanya untuk sekadar mengatakan maaf pun aku tak sanggup.

"Cho Seonsaengnim, jika anda masih ingin tetap bekerja di sini maka anda harus menghentikan semua permainan konyol ini. Saya beri anda surat peringatan! Jika anda mengabaikan masalah ini dan mengulanginya lagi, anda akan dipecat dari sini." Ucapnya tegas seraya menyerahkan sebuah surat peringatan pada Cho Saem.

"Dan kamu Han Hyekyul! Berikan surat panggilan ini untuk orang tuamu jika kau masih ingin tetap bersekolah di sini."

Sungguh, hatiku serasa remuk. Jadi beginikah akhir cerita cintaku? Padahal kami baru seminggu menjalin hubungan namun sudah harus berpisah seperti ini? Apakah salah mencintai gurunya sendiri? Aku tidak percaya, sekolah ini tidak menghargai hak para muridnya.

"Hyekyul-ah... kurasa kita harus berpisah." Aku menangis mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Cho Saem.

"Jika kau benar-benar mencintaiku, seharusnya kau rela melakukan apa pun demi mempertahankannya. Tapi kelihatannya aku salah. Seharusnya aku tahu bahwa dari awal kau tidak pernah benar-benar mencintaiku. Baiklah.. sekarang aku mengerti." Aku meninggalkan Cho Saem yang menatapku sendu. 

Sekarang tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi pacaran! Sekarang aku tidak peduli dengan segalanya, yang harus kulakukan sekarang hanyalah bagaimana caranya supaya aku dapat naik kelas dan segera lulus kemudian pergi jauh dari sekolah ini yang sudah banyak meniggalkan kenangan pahit untukku.

1 year later...

"Wow! Cukha Han Hyekyul! Tidak disangka jerih payahmu selama ini membuahkan hasil yang sangat memuaskan!"

"Ne! Gomawo Songwoo. Aku juga tidak akan berhasil tanpa bantuanmu." Sekarang kami semua sudah lulus dan kami baru saja melangsungkan perpisahan. Tidak kusangka perjuanganku selama satu tahun ini benar-benar memuaskan. Aku berada pada tingkat 7 paralel satu angkatan. Itu sangat menakjubkan.

"Cukha, Han Hyekyul! Akhirnya kau lulus!" Aku terkesiap ketika tiba-tiba seseorang telah berada di belakangku.

"Ups! Sepertinya aku ada urusan dengan Hyoji! Aku duluan Hyekul-ah!" Sial! Songwoo malah meninggalkanku bersama guru Bahasa Perancis ini.

"Eum... ne. Kamsahamnida, seonsaengnim." Jawabku kaku. Aku masih belum bisa melupakan kejadian waktu itu.

"Han Hyekyul. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

"Mengatakan apa?" Kulihat ia mengembuskan nafas berat sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Aku tahu kau pasti masih sakit hati soal kejadian waktu itu. Tapi tidakkan masih terbuka sedikit saja hatimu untukku?" Apa yang baru saja ia katakan? Apakah ia baru saja menyatakan cinta padaku?

"Tapi seonsaengnim.... bukankah.."

"Sekarang kau sudah lulus, jadi tidak ada alasan lagi untukku melepaskanmu bukan?" Aku menatapnya ragu. Apakah ia mengatakannya dengan sungguh-sungguh? Baru saja aku ingin berbicara lagi, tiba-tiba sebuah kain besar di atas panggung terbuka lebar dan tampaklah sebuah kalimat..

'Han Hyekyul, Nan Neomu Saranghae'

Aku menutup mulutku tak percaya. Sekarang seluruh murid di aula tengah menyorakiku. Aku manatap Cho Saem haru.

"Apakah sekarang kau sudah yakin untuk kembali padaku?" Dengan mengeluarkan air mata haru aku menjawabnya, "Tentu saja!" Aku langsung memeluknya dan ia membalasku. Semua orang yang ada di aula ini menyoraki kami berdua. Aku sungguh sangat bahagia. 

Sekarang aku merasakan satu hal yang selama ini selalu kucibir, bahwa ternyata cinta itu memang tidak pernah memandang apa pun. Love is blind. Bahkan aku mencintai guru yang selalu memarahiku dan mempermalukanku di depan kelas. Tapi apa mau dikata jika sudah cinta? Hahaha.

Bagaimana bisa aku mencintaimu, guru?

-Epilouge-

"Hyekyul-ah, maukah kau ikut bersamaku ke Paris?"

"Mwo? Paris? Itu impianku sejak dulu!"

-FIN-


Posted via Blogaway

No comments:

Post a Comment